Chapter VIII: Pertentangan Prinsip dalam Perkawinan
Ada satu prinsip yang sangat sulit disatukan dalam perkawinan saya dan istri. Dua prinsip berbeda yang dipegang oleh keluarga masing-masing.
Prinsip yang dipegang teguh hari demi hari, dilestarikan turun-temurun.
Perbedaan prinsip kami adalah tingkat kekerasan nasi. Keluarga
istri saya suka nasi yang lunak. Keluarga saya suka nasi yang keras. Ini tidak
mudah! Bahkan hingga belasan tahun, pergumulan ini belum juga terpecahkan.
Masih terus kami bawa dalam doa dan sembahyang.
Di rumah kami hanya ada satu alat penanak nasi. Dua kali
memasak nasi tentu bukan pilihan yang bijak. Kami hanya keluarga kecil. Ada
kesulitan teknis, juga finansial kalau harus dua kali menanak nasi.
Terpikir juga
janji perkawinan dulu. Ini kan keluarga. Kami harus sejalan, senasib, dan
sepenanggungan. Apa kata tetangga kalau sampai tahu ada dua jenis nasi di dalam
rumah tangga ini?
Untungnya kami
tidak pernah rebutan siapa yang harus masak. Jelas kalau saya yang menanak nasi,
airnya sedikit saja supaya nasinya jadi keras. Tidak apa-apa salah. Toh nanti
bisa minta maaf.
Di lain
waktu, giliran istri yang menanak nasi. Di momen itulah saya merasa gundah
gulana. Dalam pikiran yang membuncah, saya harus menanti selunak apa nasinya kelak.
Jantung ini berdebar-debar saat membuka penanak nasi.
Percaya atau
tidak, saat istri memasak nasi, saya sering mendoakan supaya khilaf memberikan
air agar nasinya menjadi keras. Atau nasi itu berubah begitu saja menjadi keras
karena mukjizat Tuhan. Nasi bukan lagi sekadar urusan perut, tetapi juga iman
dan ibadah saya.
Di saat
anak-anak kami lahir, pergumulan ini menjadi semakin sulit. Tidak mudah
membayangkan pilihan prinsip yang kelak mereka pegang. Nasi yang lunak, atau
nasi yang keras?
Kami
beruntung el dan Prue tak pernah berpihak pada nasi yang lunak atau keras.
Sepertinya mereka lebih bijak dibandingkan kedua orang tuanya. Tampaknya mereka
mengerti manusia hidup bukan karena nasi saja. Namun dari fried chicken dan
mixue juga.
Ini memang
hanya soal nasi. Tidak segenting urusan piala dunia atau pencucian uang, apa lagi
soal koalisi politik. Apakah saya tetap makan nasi yang lunak? Berat badan saya
surplus 10 kg sejak beristri. Ini bukti, bukan hanya janji.
Pada akhirnya bukan soal nasi lunak atau keras. Saya tetap lebih suka nasi yang keras. Itu prinsip! Hal terpenting adalah rasa syukur saya. Istri dan anak-anak sudah cukup dengan nasi. Mereka tidak meminta rubicon atau louis vuitton.
Bersambung...