Chapter II: Panggil Aku Koko

Mendapat panggilan koko terasa luar biasa buatku. Bukan maksud hati menjadi bagian dari etnis Tiongkok. Di kota tempatku dibesarkan, warga keturunan identik dengan kemapanan dan wajah rupawan. 

Belum lagi kepemilikan eksklusif tuk bersanding dengan makhluk-makhluk manis layaknya Siau Liong Li, gadis pujaan Yoko dalam Sin Tiauw Hiap Lu.
Warna kulit yang terang memang membuatku sepintas tampak seperti seorang koko. 

Di kampusku dulu, sejumlah fakultas disesaki dengan Tiongkok bibit unggul. Sesekali adik-adik tingkatku khilaf dan menyapaku dengan panggilan "Ko." Bangga sekali rasanya termasuk di dalam bagian bibit unggul ini.

Namun, cerita ini bukan tentang pungguk merindu rembulan. Tidak ada ibu peri yang kemudian datang dan menyihirku menjadi seorang koko sejati. Atau tiba-tiba ada mei-mei manis yang tergila-gila padaku dan mengajakku menikah untuk kemudian mendapat warisan orangtuanya. Jauh panggang dari api!

Panggilan "Ko" akan selalu terasa luar biasa buatku. Ada cinta yang luar biasa di balik panggilan itu. Rasa cinta yang tak luntur diguyur hujan Margasari-Tegal. Tak pula lekang terkelupas jarak Tegal-Jogjakarta.

Perlukah mengingat sejarah panggilan "Koko" itu muncul? Perlu! Ini catatan romantis! Bukan tulisan ilmiah. Bukan pula apologi yang memunggungi sejarah. Dulu aku pernah nekat berpetualang dari Jogjakarta ke Tegal tuk mengenal seorang makhluk manis yang membuatkan penasaran.
Nih si Koko saat dari Jogjakarta nekad mengunjungi Tegal, 2008 silam.

Saat PDKT (pendekatan), nongkronglah kami di alun-alun Tegal. Entah apa yang kami makan saat itu. Makanan atau minuman memang tak penting bagi kami. Yang penting kami bisa berdua. Ada banyak hormon dopamin, oksitosin, & endorfin. 

Tak perlu segala macam karbohidrat, potrein, mineral, apalagi kolesterol. Di tengah asik berbagi ceria juga berbagi rasa, datanglah sesosok peminta-minta memanggil kami koko dan cece. Kami pun menahan tawa mendapat panggilan ini. 

Sesaat setelah orang itu pergi, tawa kami pun lepas mengingat panggilan tadi. Awalnya tak lebih dari bercanda tuk saling memanggil koko & cece. Namun di perjalanan kami sadari, tak ada lagi panggilan mesra nan sayang selain panggilan koko & cece. Tak ada! Tak kan pernah ada!

Ya. ada cinta luar biasa di balik panggilan "koko" ini. Cinta yang kan hadir setiap hari. Yang tak tega biarkan kau sendiri. Yang kan selalu siap untuk diadu. Silakan kau adu kapanpun, Ce. Malaikat juga tahu, kokomu yang tak cemerlang dan tiada rupawan ini jadi juaranya!

....to be continued...

Popular Posts