Virus Korona, Nabi Yusuf, dan Yesus

Beberapa hari lalu viral video azan di salah satu kota di Kuwait yang berbunyi berbeda dari biasanya. Azan sebagai panggilan salat itu sejatinya mengumandangkan “marilah kita salat” agar umat Islam datang salat berjamaah di rumah ibadah mereka.

 Namun hari itu, sambil menangis sang muazin mengumandangkan: “salatlah di rumah masing-masing.” Salat sebagai salah satu rukun Islam yang dianggap sebagai tiang agama pun sementara ini tak bisa dilakukan di Masjid.           

Masjid Agung Jawa Tengah



Senin (16/3), Vatikan mengumumkan perayaan pekan suci akan digelar tanpa kehadiran umat. Jadi, jemaat tidak dapat menghadiri ibadah Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, dan Paskah secara fisik. Sesuatu yang sangat mengejutkan, karena sepertinya tidak pernah terjadi pada zaman modern.      


Gereja Katolik Ganjuran

Beberapa hari lalu viral video azan di salah satu kota di Kuwait yang berbunyi berbeda dari biasanya. Azan sebagai panggilan salat itu sejatinya mengumandangkan “marilah kita salat” agar umat Islam datang salat berjamaah di rumah ibadah mereka.

 

Namun hari itu, sambil menangis sang muazin mengumandangkan: “salatlah di rumah masing-masing.” Salat sebagai salah satu rukun Islam yang dianggap sebagai tiang agama pun sementara ini tak bisa dilakukan di Masjid.           

Senin (16/3), Vatikan mengumumkan perayaan pekan suci akan digelar tanpa kehadiran umat. Jadi, jemaat tidak dapat menghadiri ibadah Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, dan Paskah secara fisik. Sesuatu yang sangat mengejutkan, karena sepertinya tidak pernah terjadi pada zaman modern.      

Lalu bagaimana dengan Gereja Kristen? Banyak perdebatan di antara umat, tokoh agama, bahkan pimpinan gereja. Pantaskah ibadah-ibadah gerejawi dikemas secara daring (online) tanpa kehadiran jemaat?

 

Secara ekstrem, ada yang setuju dan ada yang tidak. Masing-masing pihak memiliki argumen-argumen teologis, sosiologis, antropologis, dan seterusnya. Mereka yang tidak setuju mengingatkan kita jangan sampai meniadakan hari Tuhan, atau jangan sampai iman dan spiritualitas kita bergantung pada keadaan.


Mereka yang tidak setuju mengangkat Mazmur 91: 5-7: “Engkau tidak usah takut … terhadap penyakit menular yang mengamuk di waktu petang. Walau seribu orang rebah di sisimu, dan sepuluh ribu di sebelah kananmu, tetapi itu tidak akan menimpamu.”


Mereka yang setuju, misalnya Prof. Gerit Singgih, menegaskan bahwa nabi-nabi di alkitab pun mengkritik ibadah dengan tekanan berlebihan pada ritual. Pdt. Dr. John Simon menawarkan konsep “gereja rumah” sebagai tempat asal kita belajar beriman.


Saya teringat pertanyaan salah satu Ketua Majelis Sinode GPIB saat ujian kependetaan saya. Beliau yang saat tulisan ini sy buat sedang dirawat di rumah sakit bertanya, “Menurutmu apakah gereja suatu saat akan tutup karena orang bisa liat khotbah lewat internet?” Saya dengan yakin menjawab, “Tidak akan, Pak. Manusia masih butuh kehadiran!”


Bagi manusia, kehadiran memang segala-galanya. Buat apa pacaran kalau jarak jauh? Ooooppsss! No! Bukan itu alasan saya ketika menjawab pertanyaan soal gereja di atas. Alasan sy yang dangkal hanyalah berkaca dari kebutuhan piknik manusia.


Nikmat mana yang mau didapat kalau hanya lihat Borobudur lewat youtube? Selama papan nama Jalan Malioboro masih dikunjungi orang untuk berfoto, saya masih optimis gereja masih akan dikunjungi, dan tentunya pendeta masih akan disalami.


Saya merenung ternyata kita tidak setangguh yang kita bayangkan selama ini. Mungkin sisi anak Sekolah Minggu saya memimpikan pemimpin umat (dan pemimpin masyarakat) seperti Nabi Yusuf saat didaulat Firaun memimpin Mesir.


Di saat Mesir berkelimpahan, dengan bijaksana ia menyimpan bahan makanan sebagai persiapan. Pada masa tujuh tahun kelaparan, Yusuf tidak bermukjizat seperti halnya Musa di padang gurun. Yusuf dengan hikmatnya sudah mempersiapkan roti saat kelaparan tiba.


Selama ini saya membayangkan hidup bersama Kristus dan hidup di dalam Kristus seharusnya membuat iman kita lebih dewasa, karena kita bukanlah jemaat mula-mula yang bersitegang meributkan pengikut Kristus harus sunat atau tidak.


Saya kemudian membayangkan perpecahan jemaat mula-mula yang dituliskan dalam surat-surat Paulus. Di sana Paulus mengingatkan kita, apapun latar belakang kita, harusnya kembali pada Yesus. Paulus menasihatkan supaya bersatu dan merendahkan diri seperti Kristus.


Ya orang Kristen memang butuh kehadiran karena memang iman kita didasarkan pada Allah yang HADIR dalam diri Kristus. Namun selanjutnya, Yesus yang hadir itu juga pergi dan “tak hadir lagi”.


Saya meng-IMANi Yesus. Yesus yang dibawa ayah dan ibunya menyingkir ke Mesir saat dikejar-kejar Herodes. Saya mengimani Yesus yang diusir usai berbicara di rumah ibadah Yahudi. Saya mengimani Yesus yang menyerahkan diri saat ditangkap hamba Imam Besar.


Menyingkirnya Yesus, diusirnya Yesus, ditangkapnya Yesus tidak menafikan sosoknya sebagai Tuhan yang sudah “hadir baru” (the new BEING-Paul Tillich). “Tuhan yang hadir” itu menyingkir waktu dikejar Herodes, pergi waktu diusir, menyerah waktu ditangkap.


Terima kasih bagi para guru yang memberi penguatan. Prof. Joas Adiprasetya menyarankan kita untuk menyuburkan kembali keakraban keluarga kalau ibadah dari rumah. Pdt. Dr. Eben Nuban Timo menyarankan tetaplah ibadah dengan merekayasa jam ibadah dan tempat duduk umat demi menjaga pembatasan sosial (social distancing).


Lalu apakah saya setuju ibadah di-online-kan saja? Ya, saya setuju! Saya belajar dari Yusuf dan Yesus di atas. Apakah dengan ibadah di rumah atau ibadah lewat internet berarti iman kita lemah dan mudah terpengaruh keadaan?


Mungkin iman saya memang lemah, pun spiritualitas saya juga kurang. Saya setuju untuk tidak beribadah di gereja dengan rasa malu dan sedih yang membuncah. Saya malu karena selama ini menyia-nyiakan ibadah-ibadah (koinonia) di gereja. Saya sedih karena baru sadar bersama Tuhan tidak hanya hadir masa kelimpahan, tetapi juga masa kekeringan.


                                                                                          Isolasi Bukit Ki Penjawi, 17 Maret 2020

 



Lalu bagaimana dengan Gereja Kristen? Banyak perdebatan di antara umat, tokoh agama, bahkan pimpinan gereja. Pantaskah ibadah-ibadah gerejawi dikemas secara daring (online) tanpa kehadiran jemaat?

Secara ekstrem, ada yang setuju dan ada yang tidak. Masing-masing pihak memiliki argumen-argumen teologis, sosiologis, antropologis, dan seterusnya. Mereka yang tidak setuju mengingatkan kita jangan sampai meniadakan hari Tuhan, atau jangan sampai iman dan spiritualitas kita bergantung pada keadaan.


Mereka yang tidak setuju mengangkat Mazmur 91: 5-7: “Engkau tidak usah takut … terhadap penyakit menular yang mengamuk di waktu petang. Walau seribu orang rebah di sisimu, dan sepuluh ribu di sebelah kananmu, tetapi itu tidak akan menimpamu.”


Mereka yang setuju, misalnya Prof. Gerit Singgih, menegaskan bahwa nabi-nabi di alkitab pun mengkritik ibadah dengan tekanan berlebihan pada ritual. Pdt. Dr. John Simon menawarkan konsep “gereja rumah” sebagai tempat asal kita belajar beriman.


Saya teringat pertanyaan salah satu Ketua Majelis Sinode GPIB saat ujian kependetaan saya. Beliau yang saat tulisan ini sy buat sedang dirawat di rumah sakit bertanya, “Menurutmu apakah gereja suatu saat akan tutup karena orang bisa liat khotbah lewat internet?” Saya dengan yakin menjawab, “Tidak akan, Pak. Manusia masih butuh kehadiran!”


Bagi manusia, kehadiran memang segala-galanya. Buat apa pacaran kalau jarak jauh? Ooooppsss! No! Bukan itu alasan saya ketika menjawab pertanyaan soal gereja di atas. Alasan sy yang dangkal hanyalah berkaca dari kebutuhan piknik manusia.


Nikmat mana yang mau didapat kalau hanya lihat Borobudur lewat youtube? Selama papan nama Jalan Malioboro masih dikunjungi orang untuk berfoto, saya masih optimis gereja masih akan dikunjungi, dan tentunya pendeta masih akan disalami.


Saya merenung ternyata kita tidak setangguh yang kita bayangkan selama ini. Mungkin sisi anak Sekolah Minggu saya memimpikan pemimpin umat (dan pemimpin masyarakat) seperti Nabi Yusuf saat didaulat Firaun memimpin Mesir.


Di saat Mesir berkelimpahan, dengan bijaksana ia menyimpan bahan makanan sebagai persiapan. Pada masa tujuh tahun kelaparan, Yusuf tidak bermukjizat seperti halnya Musa di padang gurun. Yusuf dengan hikmatnya sudah mempersiapkan roti saat kelaparan tiba.


Selama ini saya membayangkan hidup bersama Kristus dan hidup di dalam Kristus seharusnya membuat iman kita lebih dewasa, karena kita bukanlah jemaat mula-mula yang bersitegang meributkan pengikut Kristus harus sunat atau tidak.


Saya kemudian membayangkan perpecahan jemaat mula-mula yang dituliskan dalam surat-surat Paulus. Di sana Paulus mengingatkan kita, apapun latar belakang kita, harusnya kembali pada Yesus. Paulus menasihatkan supaya bersatu dan merendahkan diri seperti Kristus.


Ya orang Kristen memang butuh kehadiran karena memang iman kita didasarkan pada Allah yang HADIR dalam diri Kristus. Namun selanjutnya, Yesus yang hadir itu juga pergi dan “tak hadir lagi”.


Saya meng-IMANi Yesus. Yesus yang dibawa ayah dan ibunya menyingkir ke Mesir saat dikejar-kejar Herodes. Saya mengimani Yesus yang diusir usai berbicara di rumah ibadah Yahudi. Saya mengimani Yesus yang menyerahkan diri saat ditangkap hamba Imam Besar.


Menyingkirnya Yesus, diusirnya Yesus, ditangkapnya Yesus tidak menafikan sosoknya sebagai Tuhan yang sudah “hadir baru” (the new BEING-Paul Tillich). “Tuhan yang hadir” itu menyingkir waktu dikejar Herodes, pergi waktu diusir, menyerah waktu ditangkap.


Terima kasih bagi para guru yang memberi penguatan. Prof. Joas Adiprasetya menyarankan kita untuk menyuburkan kembali keakraban keluarga kalau ibadah dari rumah. Pdt. Dr. Eben Nuban Timo menyarankan tetaplah ibadah dengan merekayasa jam ibadah dan tempat duduk umat demi menjaga pembatasan sosial (social distancing).


Lalu apakah saya setuju ibadah di-online-kan saja? Ya, saya setuju! Saya belajar dari Yusuf dan Yesus di atas. Apakah dengan ibadah di rumah atau ibadah lewat internet berarti iman kita lemah dan mudah terpengaruh keadaan?


Mungkin iman saya memang lemah, pun spiritualitas saya juga kurang. Saya setuju untuk tidak beribadah di gereja dengan rasa malu dan sedih yang membuncah. Saya malu karena selama ini menyia-nyiakan ibadah-ibadah (koinonia) di gereja. Saya sedih karena baru sadar bersama Tuhan tidak hanya hadir masa kelimpahan, tetapi juga masa kekeringan.


                                                                                          Isolasi Bukit Ki Penjawi, 17 Maret 2020

 

Popular Posts