Balikpapan Terbuat dari Minyak, Perang, dan Pendatang

 Penyair Joko Pinurbo menggambarkan Jogja terbuat dari pulang, rindu, dan angkringan. Bagi saya, Balikpapan terbuat dari minyak, perang, dan pendatang. Mungkin Balikpapan tak seperti Jogja yang setiap sudutnya dirindukan. Namun Balikpapan jelas mengundang orang untuk datang. Bahkan ibukota negara pun akhirnya mau berdampingan.

 

Papan nama Vasey Highway (Jl. Sudirman) di AWM

            Ada banyak hal dari Jogjakarta yang mengherankan. Lihat saja Tugu Pal Putih Jogjakarta. Secara fisik, ada banyak tengara yang tak kalah menarik. Sebut saja tugu khatulistiwa Pontianak, Monas Jakarta, atau Jam Gadang di Bukit Tinggi. Namun setiap malam, ratusan orang memadati Tugu Jogja untuk berfoto atau sekadar menghabiskan waktu.

            Tengok lagi Jalan Malioboro. Kota lain di Indonesia punya banyak jalan yang juga memesona. Bandung punya Jalan Braga. Malang punya Jalan Ijen. Surakarta punya Jalan Slamet Riyadi. Namun untuk berfoto di papan nama Malioboro saja, orang harus antre.

            Jogja punya narasi sejarah dan budaya yang terlalu kuat. Tugu Jogja dan Jalan Malioboro berada di sumbu kosmologis Jogjakarta. Ada garis imajiner yang menghubungkan laut selatan, panggung krapyak, keraton, malioboro, tugu jogja, dan gunung Merapi. Tentu bukan cerita soal hubungan ratu pantai selatan dan Sultan Jogja yang sering kita dengar.

Tempat-tempat di atas menggambarkan konsep sangkan paraning dumadi. Inilah konsep asal dan tujuan perjalanan kehidupan manusia. Tak hanya menjadi filosofi masyarakat setempat. Narasi ini seakan menjadi bagian dari candu juga rindu bagi mereka yang pernah ke Jogja.

Balikpapan jelas bukan Jogjakarta yang sudah menjadi pusat kerajaan sejak abad ke-16. Balikpapan baru dilirik 300 tahun sesudahnya, di penghujung abad ke-19. Tadinya Balikpapan hanyalah pos keamanan Kerajaan Kutai. Pertama kali didiami orang-orang Paser. 

Kampung di pesisir Teluk Balikpapan itu ramai oleh pendatang dari Sulawesi Selatan. Kendati kemudian minyak yang mengundang pendatang. Namun Balikpapan bukanlah penghasil minyak. Pengolahan dan pelabuhan minyak yang membesarkan kota ini. Balikpapan tidak hanya memproduksi minyak sebagai bahan bakar, tetapi juga berbagai produk turunan lainnya.

Dekade kedua abad ke-20, Balikpapan tidak hanya memproduksi minyak. Kilang juga menghasilkan lilin, asam sulfat, juga kaleng. Bahkan pada 1912, Kilang Balikpapan pernah mencatat sejarah saat mencoba Edeleanu Plant sebagai proses ekstraksi minyak bumi. Lebih dulu dari Kilang Ploesti Rumania, asal teori itu ditemukan.

Ledakan industri minyak menghadirkan pendatang dari berbagai belahan tempat. Selain dari daerah-daerah nusantara, ribuan orang dari Cina, Jepang, India, dan Eropa mengadu nasib. Kendati tak lagi booming, industri minyak masih mengundang para pendatang ke Balikpapan.

Pada sisi lain, minyak juga mendatangkan prahara bagi Balikpapan. Sebagai pengolah minyak, Balikpapan berperan strategis dalam dua perang dunia. Jepang menjadikan minyak Balikpapan sebagai pemasok utama bahan bakar kapal angkatan laut mereka. Begitu pula Sekutu melumpuhkan Jepang lebih dulu merebut Balikpapan.

Buku-buku sejarah arus utama mungkin tidak mencatat peran penting Balikpapan dalam perang pasifik. Namun terjadinya sejumlah kisah dramatis menunjukkan arti krusial Balikpapan. Figur-figur besar dalam dunia militer dan politik dunia pun pernah hadir di Balikpapan.

Dari pihak Jepang, setidaknya dua nama besar yang pernah bertempur di Balikpapan. Letjend Shizuo Sakaguchi dengan Batalyonnya menaklukkan Tarakan dan pulau Jawa. Ada juga Yasuhiro Nakasone yang sempat menjadi perdana menteri, posisi tertinggi di pemerintah Jepang.

Dari Amerika Serikat, jenderal legendaris Douglas Macarthur pernah ikut bertempur di Balikpapan. Ia bahkan tidak pernah menginjakkan kaki di Pulau Jawa. Waktu itu Macarthur adalah panglima tertinggi AS dalam perang pasifik. Macarthur pensiun dengan pangkat bintang lima.

Hanya sembilan orang pernah berpangkat bintang lima dalam sejarah AS. Selain Macarthur ada George Marshall, Dwight “Ike” Eisenhower, Henry Arnold, dan Omar Bradley. Nama lainnya adalah William Leahy, William Halsey, Ernest King, dan Chester Nimitz.

Satu lagi jenderal bintang lima yang pernah hadir di Balikpapan. Dialah Laksamana Lord Louis Mountbatten yang mengunjungi Balikpapan pada 10 Desember 1945. Jabatan bangsawan Inggris ini begitu panjang. Ia pernah menjadi Gubernur Jenderal India dan panglima pasukan NATO.

Balikpapan mungkin tidak punya tradisi budaya atau filosofis seperti Jogjakarta atau Surakarta. Tak juga punya pesona pemandangan seperti Toba atau Labuan Bajo. Namun dari cerita sejarah di atas, seharusnya Balikpapan punya narasi yang tak kalah menarik.

Visi Balikpapan 2005-2025 di antaranya mewujudkan Balikpapan sebagai kota jasa dan pariwisata. Seharusnya Balikpapan menghidupkan narasi pentingnya Balikpapan dalam sejarah dunia.

Kalau saja Angkatan Lautnya tidak menduduki Balikpapan pada 1942, Jepang mungkin tidak akan bercokol di Indonesia. Begitu juga kalau MacArthur dan pasukan Sekutu gagal merebut Balikpapan pada 1 Juli 1945, perang dunia bisa jadi belum berakhir.

            Rasanya narasi ini cukup menjadi daya tarik berwisata. Akademisi sejarah Australia masih rutin mengunjungi Balikpapan untuk belajar. ANZAC juga masih berupacara di Balikpapan. Orang-orang Jepang pun masih datang ke Balikpapan memberi penghormatan leluhur mereka.

            Saat Australia mengusir Jepang, mereka memberikan sandi Inggris bagi jalan dan kawasan di Balikpapan. Gunung Sari dulu diberi nama Valley Road. Simpang Tugu KNPI disebut Petersham Junction. Klandasan dulu dinamai Vasey Highway.

Papan nama Vasey Highway yang dipakai di Balikpapan masih tersimpan baik di Australian War Memorial. Saya membayangkan para turis berebut foto di bawah papan nama Vasey Highway, di depan Tugu Australia, atau di monumen Karang Anyar. Tak kalah dengan Jogjakarta.

Patut disayangkan banyak bangunan tua bersejarah yang dibongkar dan dihancurkan. Sebut saja RSUD, Bank Mandiri (eks BBD), dan Bank Indonesia. Padahal kawasan kuno justru menjadi daya tarik wisata di tempat lainnya. Lihatlah Kawasan Kota Lama di Semarang dan Kota Tua Jakarta.

Dulu, minyak, perang, dan para pendatang telah membentuk identitas, etos kerja, dan cara pandang orang Balikpapan. Kendati tinggal sejarah, minyak dan perang harusnya dapat mendukung jasa dan pariwisata Kota Balikpapan. Minyak dan perang memang tak perlu dirindukan. Minyak dan perang cukup mengundang pendatang, termasuk ibu kota Indonesia.

 

Selamat ulang tahun ke 126, Kota Balikpapan!

Popular Posts