Lalu bagaimana dengan Gereja Kristen? Banyak perdebatan di antara umat,
tokoh agama, bahkan pimpinan gereja. Pantaskah ibadah-ibadah gerejawi dikemas
secara daring (online) tanpa kehadiran jemaat?
Secara ekstrem, ada yang setuju dan ada yang tidak. Masing-masing pihak
memiliki argumen-argumen teologis, sosiologis, antropologis, dan seterusnya.
Mereka yang tidak setuju mengingatkan kita jangan sampai meniadakan hari Tuhan,
atau jangan sampai iman dan spiritualitas kita bergantung pada keadaan.
Mereka yang tidak setuju mengangkat Mazmur 91: 5-7: “Engkau tidak usah takut …
terhadap penyakit menular yang mengamuk di waktu petang. Walau seribu orang rebah
di sisimu, dan sepuluh ribu di sebelah kananmu, tetapi itu tidak akan
menimpamu.”
Mereka yang setuju, misalnya Prof. Gerit Singgih, menegaskan bahwa nabi-nabi di
alkitab pun mengkritik ibadah dengan tekanan berlebihan pada ritual. Pdt. Dr.
John Simon menawarkan konsep “gereja rumah” sebagai tempat asal kita belajar
beriman.
Saya teringat pertanyaan salah satu Ketua Majelis Sinode GPIB saat ujian
kependetaan saya. Beliau yang saat tulisan ini sy buat sedang dirawat di rumah
sakit bertanya, “Menurutmu apakah gereja suatu saat akan tutup karena orang
bisa liat khotbah lewat internet?” Saya dengan yakin menjawab, “Tidak akan,
Pak. Manusia masih butuh kehadiran!”
Bagi manusia, kehadiran memang segala-galanya. Buat apa pacaran kalau jarak
jauh? Ooooppsss! No! Bukan itu alasan saya ketika menjawab pertanyaan soal
gereja di atas. Alasan sy yang dangkal hanyalah berkaca dari kebutuhan piknik
manusia.
Nikmat mana yang mau didapat kalau hanya lihat Borobudur lewat youtube? Selama
papan nama Jalan Malioboro masih dikunjungi orang untuk berfoto, saya masih
optimis gereja masih akan dikunjungi, dan tentunya pendeta masih akan disalami.
Saya merenung ternyata kita tidak setangguh yang kita bayangkan selama ini.
Mungkin sisi anak Sekolah Minggu saya memimpikan pemimpin umat (dan pemimpin
masyarakat) seperti Nabi Yusuf saat didaulat Firaun memimpin Mesir.
Di saat Mesir berkelimpahan, dengan bijaksana ia menyimpan bahan makanan
sebagai persiapan. Pada masa tujuh tahun kelaparan, Yusuf tidak bermukjizat
seperti halnya Musa di padang gurun. Yusuf dengan hikmatnya sudah mempersiapkan
roti saat kelaparan tiba.
Selama ini saya membayangkan hidup bersama Kristus dan hidup di dalam Kristus
seharusnya membuat iman kita lebih dewasa, karena kita bukanlah jemaat
mula-mula yang bersitegang meributkan pengikut Kristus harus sunat atau tidak.
Saya kemudian membayangkan perpecahan jemaat mula-mula yang dituliskan dalam
surat-surat Paulus. Di sana Paulus mengingatkan kita, apapun latar belakang
kita, harusnya kembali pada Yesus. Paulus menasihatkan supaya bersatu dan
merendahkan diri seperti Kristus.
Ya orang Kristen memang butuh kehadiran karena memang iman kita didasarkan pada
Allah yang HADIR dalam diri Kristus. Namun selanjutnya, Yesus yang hadir itu
juga pergi dan “tak hadir lagi”.
Saya meng-IMANi Yesus. Yesus yang dibawa ayah dan ibunya menyingkir ke Mesir
saat dikejar-kejar Herodes. Saya mengimani Yesus yang diusir usai berbicara di
rumah ibadah Yahudi. Saya mengimani Yesus yang menyerahkan diri saat ditangkap
hamba Imam Besar.
Menyingkirnya Yesus, diusirnya Yesus, ditangkapnya Yesus tidak menafikan
sosoknya sebagai Tuhan yang sudah “hadir baru” (the new BEING-Paul Tillich).
“Tuhan yang hadir” itu menyingkir waktu dikejar Herodes, pergi waktu diusir,
menyerah waktu ditangkap.
Terima kasih bagi para guru yang memberi penguatan. Prof. Joas Adiprasetya
menyarankan kita untuk menyuburkan kembali keakraban keluarga kalau ibadah dari
rumah. Pdt. Dr. Eben Nuban Timo menyarankan tetaplah ibadah dengan merekayasa
jam ibadah dan tempat duduk umat demi menjaga pembatasan sosial (social
distancing).
Lalu apakah saya setuju ibadah di-online-kan saja? Ya, saya setuju! Saya
belajar dari Yusuf dan Yesus di atas. Apakah dengan ibadah di rumah atau ibadah
lewat internet berarti iman kita lemah dan mudah terpengaruh keadaan?
Mungkin iman saya memang lemah, pun spiritualitas saya juga kurang. Saya setuju
untuk tidak beribadah di gereja dengan rasa malu dan sedih yang membuncah. Saya
malu karena selama ini menyia-nyiakan ibadah-ibadah (koinonia) di gereja. Saya
sedih karena baru sadar bersama Tuhan tidak hanya hadir masa kelimpahan, tetapi
juga masa kekeringan.
Isolasi Bukit Ki Penjawi, 17 Maret 2020
|