Futsal, Hari Kasih Sayang, dan Komersialisasi Agama

Seorang komik bernama Dzawin pernah berkelakar kalau pertandingan futsal (dan sepakbola) yang damai bisa terjadi di pondok pesantren. Dzawin yg jebolan pesantren tentu mengenal baik kondisi di sana. Anak-anak pesantren itu, menurut dia, menerapkan nilai-nilai Islami di atas lapangan.

Belum lama ini saya melihat permainan futsal yang damai layaknya di pesantren si Dzawin. Namun bukan futsal di pesantren atau pertandingan yang dilakoni anak-anak pondok. Kali ini saya menyaksikan sekumpulan frater dan pastur adu futsal. Ya, mereka adalah para rohaniwan Katolik, garda terdepan penjaga ajaran Gereja yg berpusat di Vatikan.
JURNALIS Balikpapan Futsal Club saat pertandingan persahabatan di Stadion Homebase milik Persisam Samarinda

10 lelaki berbadan tegap berpostur atletis saling rebut bola dengan penuh kasih. Nyaris tak ada pelanggaran di tengah lapangan. Kalaupun ada, sang lawan pun tersenyum sambil menyodorkan tangan bersalaman. Tak terdengar umpatan khas laki yg umum kita dengar di lapangan pertandingan. Emosi yang nampak hanya rasa penasaran saat nyaris memasukkan si kulit bundar ke gawang lawan.

Bahkan di tempat berisiko tinggi seperti lapangan futsal masih ada kasih. How come? Bagaimana mungkin? Kematangan spiritualitas, kedewasaan berpikir, ditambah tingkat pendidikan para frater dan pastur jelas memegang peranan di sini. Pastinya, kasih akan selalu bisa ditunjukkan di manapun dan kapanpun.

Ya, kasih itu universal. Siapapun berhak menerima & memberinya. Berhak menolak atau menafikannya. Tentunya berhak pula mengingat-rayakannya. Seperti hari ini. Hari kasih sayang. Yang ironinya jadi hal kontroversial di Indonesia. Di saat para jomblo dan pemuja cinta menantikan momen setahun sekali ini, tak sedikit yang entah kenapa menolak hari kasih sayang.

Kata Prof Iwan Pranoto, wajar saja India bisa lebih dulu ke Mars daripada Indonesia. Lha wong mahasiswi Indonesianya sibuk unjuk rasa menolak perayaan hari kasih sayang. Alasan penolakannya pun sebagian terdengar konyol.

Mereka yang fundamentalis menuding valentine mendorong seks bebas. Bahkan mengorelasikannya dengan peningkatan penjualan alat kontrasepsi. Soal ini saya jelas tak paham, pun tak tahu juga statistiknya.

Berikutnya valentine disebut tak sesuai dengan budaya timur. Ini jelas debatable. Banyak aktivis twitter sudah membantah teori ini. Saya juga tak begitu mengerti teori kebudayaan. Kecuali tahap-tahap kebudayaan Van Peursen di awal-awal kuliah dulu.

Ada lagi alasan komersialisasi valentine tuk produk tertentu. Kelompok fundamentalis gunakan alasan ini juga untuk merundung valentine.Agak aneh sih, karena institutusi agama bersahabat karib dengan semangat kapitalis juga. Sejarah menunjukkan ritual keagamaan digunakan untuk mendukung perekonomian dan stabilitas sosial politik.

Lihat saja sentralisasi ibadah yang dilakukan Daud. Ketika Daud menjadi raja, ia menghancurkan tempat-tempat ibadah di luar Yerusalem, lalu mewajibkan suku-suku Israel untuk beribadah atau ber-hari raya di Yerusalem.

Tabut perjanjian yang berisi Hukum Allah itu benar-benar menjadi sentral peribadatan. Hal ini dilanjutkan Salomo menjadi penguasa Israel. Raja yang juga disebut Nabi Sulaiman ini membangun Bait Allah (Solomon Temple) sebagai pusat ibadah Israel.

Sentralisasi ini dilakukan demi menstabilkan situasi sosial politik Israel saat itu. Maklum saja, Israel yang hanya negara kecil sulit bersaing dengan bangsa-bangsa adidaya di sekitarnya. Sebut saja Mesir, Babilonia, Asyur/Syria, dan Persia.

Daud juga menginginkan ekonomi Israel yang berpusat di Yerusalem bisa hidup dengan kedatangan para peziarah. Pasar-pasar menjadi ramai, sektor riil dan perhotelan pun kena imbas positif. Bisa dipastikan mereka akan menghabiskan uang mereka di Yerusalem saat beribadah.

Konsep sentralisasi ibadah juga bisa dilihat di Islam. Kaabah, haji, dan umroh menjadi daya tarik ekonomi luar biasa untuk Arab Saudi. Saya tidak tahu data perputaran uang di sana. Tapi tengok saja di Indonesia, urusan haji dan umroh begitu menggiurkan hingga mengundang korupsi dan penipuan.

Barangkali terlalu naif menyamakan komersialisasi valentine dengan haji. Setidaknya mari mencoba melihatnya dari dua sisi berbeda. Apalagi valentine bukanlah perayaan agama. Tapi boleh dicoba, kasih sayang itu agama masa depan. Agama tidak boleh dikuasai oleh para elitenya. Seharusnya penghuni surga tidak hanya anak pesantren dan para rohaniwan yang bermain futsal dengan damai.

Begitu pula kasih sayang yang tidak boleh dikuasai para elite. Apalagi hanya dikuasai oleh para pemilik modal. Jangan sampai! Bagaimana nasib para jomblo yang gak punya modal donk? 

Kasih sayang melampaui segala hal. Sama seperti Tuhan yang tak terdefinisi. Tak perlu repot-repot mendefinisikan cinta. Sampai di sini saya yakin cinta itu adalah Tuhan sendiri? Tak perlu mendefinisikannya, tunjukkan saja lewat perbuatanmu, termasuk lewat permainan futsal!

Popular Posts