Manusia adalah Makhluk Bermain

Seorang teman pernah menulis tesis tinjauan fisafat keolahragaan atas konsep Homo Ludens. Iya! Home Ludens! Manusia adalah makhluk bermain. Begitu kira-kira konsep yang dipopulerkan John Huizinga.

Entah bagaimana isi tesis yang ia pertahankan di program pascasarjana filsafat UGM Yogya itu. Yang kuingat, ia mencoba melihat permainan sebagai dasar berolahraga. Temanku itu dosen di Fakultas Ilmu Keolahragaan UNY.

Tenang saja. Ini bukan tulisan filsafat. Hanya tetiba aku ingat homo ludens sehabis jogging pertama dalam tiga tahun terakhir. Sejatinya aku tidak ingat kapan jogging sore terakhirku. Pekerjaanku enam tahun belakangan tak berpihak pada waktu berolahraga yg teratur.

Di separuh akhir waktu kuliahku aku rajin jogging sore. Bukan apa-apa. Jogging membuat ketahanan nafasku meningkat drastis. Begini ceritanya. Waktu kecil aku pernah dirawat 40 hari di rumah sakit.

Aku setelah dirawat 40 hari di rumah sakit...

Keluar rumah sakit aku nyaris tak mampu berjalan. Sehari dua kali disuntik di kaki membuat saraf-sarafku kaku. Entah apa penyakitku saat itu. Orangtuaku hanya menyebut paru-paru

Setelah itu, yang ku tau nafasku tak kuat untuk berolahraga. Aku tak kuat bermain bola. Padahal kala itu aku terlanjur jatuh cinta dengan AC Milan dan Timnas Italia. Waktu itu AC Milan dua kali berturut-turut juara Piala Champion.

Akupun sadar diri. Walau idolaku itu bek legendaris AC Milan, Paolo Maldini. Aku ikhlas belajar jadi penjaga gawang. Posisi yang tak membutuhkan nafas kuat. Di bangku SMP mulailah aku merintis karir sebagai penjaga gawang.

Aku sempat mencapai masa keemasan berkarir sebagai penjaga gawang di SMA. Kelasku yang tak diungulkan berhasil menjuarai turnamen sepakbola sekolah. Yang luar biasa, aku mencatat cleansheet alias tak kebobolan dari babak penyisihan sampai partai final.

Sayangnya penampilan gemilang tak membuatku dilirik menjadi penjaga gawang tim sekolah. Padahal striker & libero kelasku yang sebelumnya tak dilirik, berhasil menembus tim sekolah. Karir sepakbolaku pun perlahan meredup. Aku lebih sibuk pacaran.

Selain berkarir di sepakbola sekolah, aku masih punya olahraga lain. Di usia 15 aku memegang sabuk merah-hitam Taekwondo. Sekali ujian lagi, aku bisa berpredikat Dan 1 Taekwondo.

Namun sama halnya dengan sepakbola. Di Taekwondo akupun gagal menjadi atlet. Fisik yg tak kuat ditambah cinta damai menjadi penyebabnya. Alih-alih jadi atlet, aku lebih sering melatih teori dan tebar pesona ke adik-adik tingkat.

Masuk kuliah aku kembali merintis karirku sebagai penjaga gawang. Karir sepakbolaku kembali meningkat. Setiap tahun aku bersama tim selalu juara turnamen sepakbola antarangkatan.

Aku dengan kostum penjaga gawang di lapangan sepakbola kampus


Namun sejarah kembali berulang. Di tim fakultas aku hanya menjadi penjaga gawang nomor dua. Nampaknya gaya flamboyanku di bawah mistar gawang membuat pelatih berpikir dua kali tuk memilihku sebagai pilihan pertama.

Di sinilah hikmahnya. Aku berpikir kembali tuk banting setir menjadi bek. Seperti idolaku, Paolo Maldini yang menjadi bek di AC Milan selama 24 tahun. Feeling bertahan sebagai penjaga gawangku masih kuat. Soal skillpun mudah kupelajari.

Hanya nafas yang tak kuat menjadi masalahku. Akupun mulai sering jogging sore hari tuk melatih nafasku. Naik turun bukit tak masalah demi mewujudkan impianku bermain sebagai bek.
Jogging rutin ini akhirnya membuahkan hasil. Perlahan nafasku menjadi semakin kuat. Sampai akhirnya aku kuat bermain penuh 2x45 menit sebagai bek. Tak hanya itu. Akupun cukup laris diajak bermain sebagai bek oleh tim-tim gurem di kampus waktu itu.
Tim gurem tak masalah bagiku. Yang penting aku bermain sebagai bek. Waktu bermain dan jam terbang penting buatku saat itu. Sampai akhirnya aku sebagai bek berhasil mengantar timku juara di dua turnamen antarangkatan terakhir.

Di akhir dekade lalu aku mulai bekerja. Awalnya menjadi Guest Relation Officer di hotel bintang empat. Shiftnya yang terus berputar membuat tak mungkin merencanakan jogging sore. 

Setali tiga uang saat aku beralih profesi sebagai wartawan. Di Indonesia, wartawan adalah profesi absurd. Delapan bulan pertama aku bekerja full tanpa libur. Layaknya McD, aku bekerja 24/7. Konon katanya sih ini bentuk opspek-nya wartawan.

Di awal-awal berkarir, masih ada jatah main futsal kantorku seminggu sekali. Itupun kalo tidak tabrakan dengan liputan. Beruntung kemudian sejumlah wartawan menginisiasi pembentukan klub futsal.

Aku sempat mutasi ke desk lifestyle yang waktu kerjanya lebih longgar. Membuatku semakin rutin berfutsal. Aku tetap kondang sebagai pemain bertahan. Meski nafas tak sekuat 5-6 tahun sebelumnya. Ditambah tak pernah lagi jogging sore.
Aku sebagai pemain belakang saat pertandingan di Stadion Segiri, kandang Persisam Samarinda

Hingga kini jogging sore pun tak pernah menjadi rutinitasku lagi. Jangan ditanya futsal, sepakbola, atau taekwondo. Bermain olahraga hanya jadi mimpi di atas mimpi saja. Padahal bermain itu fitrahnya manusia.

Celaka kalau untuk bermainpun sudah tak ada waktu lagi! Manusia yang tak bermain olahraga itu sama seperti lari dari kenyataan! Karena John Huizinga berkata, permainan itu justru lebih tua dari kebudayaan!

Tenang saja. Tulisan ini happy ending. Karena tadi sore aku kembali jogging sore lagi. Seperti yang rutin pernah kujalani di Salatiga, Jogjakarta, dan Balikpapan.

Di Salatiga rute joggingku adalah Cemara-Sembir-Hutan Karet. Sementara di Jogjakarta, ruteku perempatan kentungan-terminal concat-LPPP Matematika-Jakal. Di Balikpapan, aku biasa mengitari Lapangan Merdeka minimal 10 kali.

Tak perlu kujelaskan manfaat bisa kembali jogging sore hari. Kita adalah makhluk bermain. Yang jelas aku bisa kembali bermain. Barangkali setelah jogging, aku bisa mulai futsal, bulutangkis, voli, atau permainan lainnya!

 Homo ludens! Ini permainanku! Mana permainanmu?

Popular Posts