Chapter I: Soulmate
Ada kenangan manis nan romantis di bulan Mei.
Cerita yang terjadi 2008 silam. Tentang soulmate...
Dear soulmate, begini ceritanya...
Meriahnya
pesta pernikahan malam itu tak serta merta membangkitkan semangatku. Bukan
berarti tak ingin turut berbahagia atas pernikahan Merry. Kawan asal Sumba sejurusan
kuliahku ini dipersunting Udho pemuda asal Semarang.
Sejatinya
aku memang tak suka hadir di pesta. Terlebih lagi aku harus naik motor sendiri
Jogja-Salatiga, lalu lanjut menyetir sendiri Salatiga-Semarang. Namun
teman-teman berhasil meyakinkanku. Aku pun hadir di pesta yang
digelar hanya sepelemparan batu dari Kantor Gubernur Jawa Tengah itu.
Hati
tak niat tampak dari penampilanku yang tak meyakinkan. Setelan kemeja lusuh
andalan ke kampus berpadu celana jeans pinjaman yang kedodoran.
Tiba
di tempat pesta, aku pun memilih menunggu di luar melihat kendaraan lalu
lalang. Di samping ada kawanku Fendi yang memilih menghabiskan batang rokok kreteknya daripada berdesakan melihat prosesi
acara di dalam gedung.
Hingga akhirnya seorang teman memanggil kami bersiap memberi ucapan selamat
kepada kedua mempelai. Tiba di dalam gedung aku terjebak dalam kerumunan tamu
yang tidak jelas sedang berdesakan untuk apa.
Pandanganku
mendadak berhenti melihat sosok makhluk manis berbalut baju batik terusan selutut.
Seingatku, warna bajunya paduan antara hijau dan coklat, atau mungkin campuran
keduanya, atau entahlah, aku tak begitu peduli dengan warna bajunya.
Entah
sadar atau tidak, senyumku mengembang. Aku kenal gadis berkacamata dengan
rambut terurai pendek seleher itu. Ingatanku kembali ke masa-masa aku menulis
skripsi.
Tiga tahun sebelumnya aku pernah mengejutkan dia dan dua teman perempuannya. Saat
itu aku dan teman-temanku baru saja selesai menyantap seporsi sate ayam
langganan kami.
Warung
sate itu berada di seberang deretan pertokoan samping kampus kami, Universitas
Kristen Satya Wacana, Salatiga. Hampir seluruh kebutuhan mahasiswa bisa didapat
di kompleks pertokoan itu.
Wajar
jika setiap malam kawasan dipenuhi mahasiswa dan mahasiswi. Ada yang
datang tuk makan, menyewa buku bacaan, rental film drama romantis, atau sekedar menggandakan bahan-bahan kuliah.
Dari
warung sate aku melihat sosok perempuan itu keluar dari sebuah persewaan film.
Bersama dua teman perempuannya ia menghilang menjauh dari kompeks pertokoan.
Aku
memberanikan diri mengejar lalu memanggilnya. Kukumpulkan semangatku.
"Mba!" Ujarku setengah berteriak namun tak yakin. "Punya nomor
yang bisa dihubungi?" Lanjutku berbicara sekenanya.
Mereka
pun terbengong-bengong saling pandang satu sama lain. Namun, permintaanku tak
bertepuk sebelah tangan. Perempuan itupun menyebut sederet nomor ponsel
miliknya.
Ya
aku ingat namanya. Jenis nama perempuan yg sangat singkat. Perempuan yang nomor ponselnya dulu pernah kukejar itu kini berdiri
di hadapanku.
Ia pun
membalas dengan senyuman manis yang mampu mengembalikan semangatku malam itu.
Aku yakin dia masih ingat siapa aku. Desember lalu kami masih bertukar
pesan singkat saling mengucapkan Selamat Natal.
Sebenarnya
setelah meminta dan menyimpan nomor ponsel dia tiga tahun lalu, kami hanya berhubungan
lewat ponsel saja. Aku memang tak sempat dekat dengannya. Setahuku
waktu itu dia punya pacar. Waktu itu aku pun enggan punya hubungan serius
dengan perempuan.
Di
tengah ramainya pesta, alunan lagu-lagu romantis mengiringi tamu undangan
menikmati jamuan makan. Di tengah hujanan kilat cahaya lampu kamera, kami pun memulai obrolan standar.
Soal
kabar dan apa kesibukan kami waktu itu. Ketika itu aku sedang menyusun tugas
akhir di Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta. Sementara dia bekerja di bank plat
merah cabang Tegal.
Tak
kupungkiri hormon serotonin dalam
diriku mengalir lebih deras. Mungkin juga adrenalineku
saat kembali bertemu dengan dia. Aku seperti bisa melihat wajahku sendiri dengan
sorot mata yang cerah. Mengimbangi senyuman yang tersungging terdorong gejolak
hati.
Sudah
lama aku tak merasa seperti ini lagi saat berjumpa perempuan. Kata Diana Ross: I'm shining like a candle in the dark deh. Padahal nyaris dua
tahun aku ngampus di depan fakultas psikologi dan di samping fakultas ekonomi.
Dua fakultas ini cukup dikenal sebagai gudang perempuan unggul. Mereka yang pantas jadi
pasangan hidup demi perbaikan keturunan dan jaminan sejahtera masa
depan.
Malam
itu, aku berkesempatan makan malam sambil bersenda gurau dengannya. Jangan tanya teman-teman yang datang ke Semarang bersamaku, kedua
pengantin pun nyaris tak kupedulikan lagi.
Aku segera memastikan nomor ponsel miliknya masih sama dengan catatan buku telponku. Tubuh ini seakan tak
sanggup membendung aliran hormon kegirangan.
Aku
sampai nekad berpikir tuk mengunjunginya di Tegal. Tujuh jam perjalanan dari
Jogjakarta. Teringat aku punya kawan di Tegal yang bisa kutumpangi di sana.
Akhirnya dia harus kembali ke stasiun kereta menuju Tegal. Sementara aku kembali ke
Salatiga beramai-ramai. Mudah ditebak topik pembicaraan kami di dalam
mobil.
Ya!
Kami membicarakan dia. Ternyata kawan-kawan keberatan aku mendekatinya. Karena
waktu itu ia berpacaran dengan adik tingkatku. Tak elok rasanya menikung adik
tingkat.
Ya
sudahlah. Semangatku hilang meski mata tak berkunang-kunang. Pandanganku nanar
menerawang membelah jalan Semarang-Salatiga. Malam bahagia itu ternyata berakhir
terlalu cepat.
Sayup-sayup
terdengar senandung lagu “Soulmate” milik Kahitna.
Di
balik senyuman indah
Kau jadikan seakan nyata
Kau jadikan seakan nyata
Seolah
kau belahan jiwa…
................to be continued......................