Identitas Hibrida Orang Balikpapan
Tanah
Paser ini jadi rumah orang Bugis. Bahasa Banjar justru lebih ngehits di kota
yang dibangun kompeni ini. Orang-orang Minahasa bestari bertemu pekerja
Jawa yang gigih dan tak kenal lelah.
![]() |
Pantai Timur Balikpapan 1904_COLONIAAL ARCHITECTURE |
Kakek saya
keturunan nelayan Mandar yang mengadu nasib menjadi mantri di Balikpapan pada
masa pendudukan Jepang. Ia harus berlayar dua minggu mengarungi Selat Makassar
dari Bonepaas Mamuju ke Balikpapan.
Ayah saya
lahir di Balikpapan lalu menikahi ibu yang asli Minahasa. Siapapun yang
bertanya identitas saya, jawabannya akan selalu sama. "Saya orang Balikpapan!"
Ini bukan tulisan tentang saya dan keluarga. Ini tentang orang
Balikpapan!
Hendri Tajfel,
profesor psikologi Inggris mengungkapkan pendapatnya soal identitas sosial.
Menurut dia, manusia tidak dapat dirumuskan sebagai individu tanpa menghubungkannya dengan
lingkungan sekitar.
Pendapat
Tajfel menjadi rujukan identitas orang Balikpapan yang mendapat pengaruh dari
begitu banyak etnis. Chris Barker menegaskan, identitas sepenuhnya merupakan
konstruksi sosial budaya. Keragaman budaya justru menjadikan identitas baru. Inilah
identitas Balikpapan yang hibrida (campuran).
Suku Paser
pertama kali mendiami Balikpapan. Wilayah di tepi Teluk Balikpapan ini lalu
menjadi bagian dari Kesultanan Kutai. Sebelum abad ke-19, orang-orang Bugis dan
Makassar mendirikan Kampung Baru di pesisir barat Balikpapan.
Menteri
Belanda Francois Valentijn (1666-1727) menyebutkan orang Paser, Kutai, Bugis,
dan Makassar terlibat perdagangan di daerah Balikpapan sejak abad ke-17.
Perjumpaan budaya ini sudah terjadi jauh sebelum penemuan minyak di Balikpapan.
Balikpapan
baru menarik perhatian pada 1897. Saat itu insinyur Belanda, Jacobus Hubertus Menten
mencari pelabuhan dan pengilangan minyak. Perusahaan minyak NIIHM (Nederlandsch
Indische Industrie en Handel Maatschappij) membutuhkan keduanya.
Menten tak hanya mendapat lahan untuk pelabuhan dan
pengilangan, Ia juga mendapati sumber minyak di Teluk Balikpapan. Balikpapan lalu berkembang pesat karena
perusahaan minyak Belanda ini.
Pada 1925, tercatat 867 kapal dari berbagai negara
sandar di Pelabuhan Balikpapan dalam setahun. Satu dasawarsa kemudian, Balikpapan
memiliki Bandara Manggar yang melayani penerbangan sipil dan militer. Kelak bandara ini digantikan oleh Sepinggan yang masih eksis hingga sekarang.
Industri minyak menjadi madu yang mengundang banyak
kumbang datang. Pada 1930, para pendatang justru memenuhi Balikpapan. Mereka bukan hanya Jawa, Bugis, Banjar, dan Minahasa, tetapi juga Sunda, Mandar, dan Madura.
Pendatang dari Jawa, Banjar, dan perantauan Tiongkok justru
menjadi yang terbanyak di Balikpapan. Dari 39 ribu penduduk Balikpapan, 22 ribu
di antaranya berasal dari tiga daerah tersebut. Orang Jawa lalu berkumpul mendirikan kampung Karang Jawa.
Nyaris seluruh pendatang ini bekerja di Bataafsche
Petroleum Matschappij (BPM). Burhan Magenda menyebut orang Minahasa dan
sebagian Banjar mengisi posisi staf (kerani) administrasi dan teknis yang
membutuhkan keahlian khusus.
Pedagang Tionghoa
mendominasi distribusi kebutuhan pokok masyarakat. Mereka bersaing dengan
pendatang dari Banjar yang menguasai jaringan transportasi sungai. Sementara
pedagang Bugis mendatangkan daging dari Parepare, Sulawesi Selatan.
Orang-orang
dari berbagai daerah ini hidup dalam lingkungan industri yang disiplin. Penelitian
di awal abad ke-20 tentang buruh BPM pernah diungkapkan Vincent Houben.
Dalam bukunya
“Coolie Labour in Colonial Indonesia”, Ia menjelaskan aktivitas harian para buruh
BPM. Mereka bekerja mulai pukul 6 pagi hingga 12 siang, lalu istirahat
makan sampai 13.30.
Para buruh
kebanyakan pulang untuk masak dan makan di rumah. Selepas istirahat, pekerjaan masih dilanjutkan sampai pukul 6 sore. Selanjutnya pulang, mandi, makan
malam, lalu tidur pada pukul 9 malam.
Pada saat suami bekerja, istri pekerja Jawa BPM sudah terbiasa berjualan. Mereka tak hanya membuka warung makan di sekitar lokasi kerja. Houben menulis
sudah ada istri buruh BPM berjualan es krim di rumahnya pada 1916.
Setiap pagi
warga Balikpapan terbiasa mendengar alarm “suling Pertamina”. “Suling ini simbol karakter orang Balikpapan yang disiplin dan teratur,” demikan ujar
mantan Wali Kota Balikpapan Imdaad Hamid.
Pertemuan
budaya didukung disiplin industri ini membentuk identitas baru. Inilah
identitas hibrida orang Balikpapan. Identitas pekerja inilah yang menjadi karakter Balikpapan
hingga sekarang.
Orang Balikpapan yang mau diatur membuang sampah hanya malam hari demi kenyamanan. Pengendara Balikpapan yang masih mengalah kepada penyeberang jalan demi keteraturan.
Sejarah menunjukkan keragaman orang-orang Balikpapan. Sejarah ini yang menurut sejarawan FR Ankersmit mampu memperkokoh identitas sekaligus solidaritas masyarakat.
Sejarah menunjukkan keragaman orang-orang Balikpapan. Sejarah ini yang menurut sejarawan FR Ankersmit mampu memperkokoh identitas sekaligus solidaritas masyarakat.
Orang Balikpapan perlu menyadari identitasnya sebagai manusia hibrida. Identitas hibrida ini memberi semangat kebersamaan, kesetaraan, dan persaudaraan. Untuk apa? Untuk membangun, menjaga, dan membela!
*) Dengan perubahan seperlunya setelah dimuat di Kaltim Post, 10 Februari 2017
*) Dengan perubahan seperlunya setelah dimuat di Kaltim Post, 10 Februari 2017