Bukan Hanya Boedi Oetomo

* Memaknai Kembali Kebangkitan Nasional

Nama Dokter Angka pasti terdengar asing di telinga kita, sekalipun ia diabadikan sebagai nama jalan utama di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah. Ada banyak hotel, restoran, dan tempat hiburan terkenal di jalan tersebut. Namun tulisan ini bukan soal Kota Purwokerto dan tempat hiburannya. Ada cerita di balik pria bernama lengkap Anggoro Kasih.
Anggota LVRI Balikpapan menyaksikan paskibra di upacara 17 Agustus di Lapangan Merdeka_HANDRY JONATHAN


Dia tentu bukan sosok sembarangan. Bersama delapan dokter lulusan STOVIA lainnya, Angka turut memprakarsai berdirinya organisasi Boedi Oetomo (BO). Kelahiran organisasi ini diabadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) ini. 

Di BO, Angka sempat menjadi seksi bendahara. Meski demikian Angka tak kondang dalam catatan atau pelajaran sejarah bangsa Indonesia. Ia kalah tenar dibandingkan tokoh BO yang lain, sebut saja Soetomo, Radjiman Widyodiningrat, Soeradji Tirtonegoro, atau Sardjito. Nama Angka hanya bersemayam sunyi pada nisan di kompleks pemakaman Kaboetoeh, Sokaraja, Kabupaten Banyumas.

Tidak populernya Angka dibandingkan tokoh BO lain disebut-sebut karena alasan politis. Hal ini pernah dituturkan para keturunan Angka kepada harian Kompas saat peringatan 100 tahun berdirinya BO, 2008 silam. Padahal konon Angka pernah menolak tanda tangan pernyataan sebagai perintis kemerdekaan agar mendapat tunjangan pemerintah.

Dalam perjalanan sejarah, BO memang terombang-ambing dalam berbagai macam kepentingan politis. Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam menyebutkan, awalnya disebut sebagai “Kebangunan Nasional.”

Hal ini didengungkan demi melawan tekanan dari agresi militer Belanda saat itu. Momentum Kebangkitan Nasional kembali didengungkan Sukarno pada 1958. Ketika itu Indonesia sedang berusaha bangkit usai porak poranda dilanda akibat konflik PRRI/Permesta.

Berlanjut di masa orde baru. Momen kelahiran BO memang terus diidentikkan dengan Kebangkitan Nasional. Namun belakangan, hari lahir BO sebagai momen Kebangkitan Nasional mulai digugat. 

Para ahli sejarah, di antaranya Asvi Marwan Adam (2009:103) menuliskan, aspek kedaerahan BO yang kental tidak bisa dianggap nasionalis. Justru Sarekat Islam (SI) yang lahir 1905 dianggap lebih nasionalis meski namanya menggunakan unsur agama. 

Saat itu, BO justru beranggotakan para ambtenaar (pegawai kerajaan) Belanda. Di pihak Hindia Belanda, Gubernur Jenderal Van Heutsz menyambut baik BO sebagai simbol keberhasilan politik etis. 
Pada Desember 1909, organisasi tersebut dinyatakan sebagai organisasi yang sah oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada dasarnya BO jarang memainkan peran politik yang aktif, melainkan hanya cenderung lembaga yang mengutamakan aspek kebudayaan dan pendidikan.

Budi Utomo sudah mandek sejak awal karena kekurangan dana dan kelangkaan kepemimpinan yang dinamis. Organisasi ini mendesak pemerintah menyediakan lebih banyak pendidikan Barat, tapi tuntutan itu tidak begitu berarti.

Di pihak lain, sejumlah ahli tetap memandang positif BO. Suhartono (1994:32)  menganggap organisasi ini tak hanya dikenal sebagai salah satu organisasi nasional pertama di Indonesia. Namun juga salah satu organisasi berusia panjang sebelum proklamasi kemerdekaan. 

Di sini, BO dianggap mewakili fase awal nasionalisme Indonesia. Inilah fase yang menunjuk pada etno-nasionalisme. BO juga menjadi representasi penyadaran diri terhadap identitas kelompok masyarakat saat itu. 

Toh organisasi ini bersifat "politis" karena berupaya memajukan intelektualitas kaum cendekiawan pribumi. Lalu apa hikmah tarik-menarik kepentingan politik seputar kelahiran BO dan Kebangkitan Nasional bagi pemuda? 

Selain sebagai momen penyadaran akan identitas diri, BO mencontohkan kita semangat berorganisasi demi mencapai tujuan bersama. Begitu banyak isu yang menuntut partisipasi para pemuda melalui wadah organisasi. 

Ini bahkan bisa dimulai dari organisasi sederhana. Di antaranya, Karang Taruna atau OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Apalagi iklim demokrasi saat ini memberi kesempatan luas bagi para pemuda untuk bebas berserikat, berkumpul, serta menyuarakan pendapat. 

Organisasi kepemudaan yang berafiliasi pada partai politik, agama, sosial, atau kebudayaan sangat terbuka bagi siapa saja. Semangat Kebangkitan Nasional harus terus dijaga dalam kemasan apapun. 

Demi memperluas makna, perayaan Kebangkitan Nasional tak hanya memperingati BO saja. Tetapi juga perlu memaknai kehadiran organisasi lain pada masa itu. Selain Sarekat Islam (1905), ada organisasi Tiong Hwa Hwee Koan (1901) dan Jamiat Khair (1905) yang bergerak di bidang pendidikan. Selanjutnya ada Perserikatan Komunis Hindia Belanda (1924), Perhimpunan Indonesia (1925), dan Partai Nasional Indonesia (1927).

Hingga kini para keturunan Dokter Angka dan pendiri BO masih berkumpul demi memaknai kembali momen Kebangkitan Nasional. Sejatinya memang makna Kebangkitan Nasional tidak berhenti pada lahirnya BO atau organisasi lainnya. Kebangkitan Nasional merupakan sebuah proses yang akan terus berlangsung dengan partisipasi kita di dalamnya. 

* Artikel ini pernah ditulis untuk in-house magazine KNPI Kota Balikpapan

Popular Posts