Pahlawan Penuh Tanda Jasa


Siapa bilang guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa? Ada guru yang namanya abadi di jalan-jalan protokol di kota besar di Indonesia. Namanya Sudirman, pria asal Purbalingga yang pernah menjadi guru sekolah rakyat Muhammadiyah di Cilacap.

Tak banyak diungkap dalam buku sejarah Jenderal Sudirman pernah mengajar sekolah. Profesi guru ia lakoni sebelum ikut pendidikan perwira PETA (Pembela Tanah Air) di masa pendudukan Jepang. Jangan tanya tanda jasa yang ia dapat. Sudirman punya gelar Jenderal Besar berpangkat bintang lima.

Tak kalah dengan Sudirman, ada guru yang namanya diabadikan menjadi nama kapal perang. Potret dirinya pun pernah hadir pada uang kertas pecahan dua puluh ribu rupiah, namanya Suwardi Suryaningrat. 

Sosoknya lebih populer sebagai Ki Hajar Dewantara. Pria kelahiran Yogyakarta ini pernah menjadi guru, pendiri lembaga pendidikan, bahkan Menteri Pengajaran. Suwardi juga dikenal pernah menentang ordonansi (peraturan) pemerintah Hindia Belanda yang membatasi gerak guru pada 1932 silam.

Ungkapan pahlawan tanpa tanda jasa sudah melekat pada profesi guru. Tergambar tanggung jawab luar biasa di tengah pergumulan kesejahteraan guru yang masih tanda tanya. Guru tak pernah berpikir menjadi pahlawan meski sudah banyak berkorban. 

Tanyakan saja pada Butet Manurung, guru sukarela di hutan Bukit Dua Belas, Jambi. Perempuan lulusan Universitas Padjadjaran Bandung ini rela memunggungi kenyamanan kota lalu masuk rimba belantara. Semuanya demi tujuan negara, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Begitu pula dengan Ai Dewi guru honorer selama 23 tahun di Madrasah Ibtidaiyah di Banten. Ia pun berjuang mengajar anak-anak suku Baduy dengan berkeliling puluhan kampung tanpa dibayar.

Pengorbanan serupa juga dilakukan para guru garis depan (GGD) yang dikirim ke perbatasan dan pedalaman. Pada 2015, Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan mengirim 798 guru dalam program GGD. 

Mengharap tanda jasa juga terdengar berlebihan bagi guru. Padahal tak terhitung jumlah anak didik yang berhasil merdeka dari kebodohan. Jangankan tanda jasa, untuk memenuhi kebutuhan hidup saja harus menyambi kerja di luar sekolah. 

Kita tahu cerita guru-guru yang memberi les di luar sekolah, menjadi tukang ojek atau pemandu wisata. Bahkan di pinggiran Jakarta ibukota negara, pernah ramai cerita Kepala Madrasah Tsanawiyah menyambi sebagai pemulung.

Kenyataan ini menjadi rujukan Sartono melukiskan guru sebagai pelita dalam kegelapan di syair lagu Himne Guru ciptaannya. “Guru itu laksana embun penyejuk,” ungkap Sartono yang ironisnya hanya pensiun sebagai guru honorer.

Kepahlawanan adalah perwujudan nilai-nilai. Hal ini sejalan dengan tugas guru untuk menanamkan nilai-nilai.  Kelak nilai yang tertanam pada para murid inilah yang menjadi tanda jasa mereka.

Bagi guru, tanda jasa bukanlah medali berhias bintang yang diserahkan pejabat pada upacara kenegaraan. Bukan pula kehormatan dimakamkan dalam upacara kenegaraan di taman makam pahlawan.

Masih ingat cerita Muslimah, seorang guru di Belitong? Perempuan tamatan Sekolah Kepandaian Putri ini mati-matian mengajar 10 murid di bangunan sekolah yang hampir rubuh tertiup angin. 

Ia menyambi sebagai tukang jahit karena gajinya sebagai guru saat itu tidak cukup. Sekarang jasa-jasanya itu meninggalkan tanda yang pasti membuat ia bangga. Muridnya yang dulu menjadi ketua kelas saat SD sempat memimpin fraksi DPRD di Belitong Timur. 

Sementara murid Muslimah lainnya menjadi manajer perusahaan komunikasi besar di Indonesia. Murid ini menjadi penulis novel terlaris yang diterjemahkan di 20 negara. Kisah mereka ia tulis dalam novel berjudul “Laskar Pelangi.” 

Anak-anak Indonesia yang cerdas menandakan guru sudah menjadi pelita bagi mereka. Kesuksesan putra-putri bangsa meraih cita menjadi bukti kesejukan yang mereka hadirkan. Inilah tanda jasa yang jauh terasa lebih bermakna bagi korps pendidik di negeri ini.
Suasana belajar di kelas.


Sekarang guru tentu tak perlu berperang layaknya Jenderal Sudirman demi sebutan pahlawan. Tak perlu mendirikan Taman Siswa seperti Ki Hadjar Dewantara. Guru juga tak harus berbondong-bondong ke perbatasan berperang melawan kebodohan.

Perjuangan guru cukup dilakukan di sekolah masing-masing kendati kesejahteraan masih diperjuangkan. Kepahlawanan guru dapat ditunjukkan di dalam kelas meski kesempatan sertifikasi tak kunjung datang.

Jasa tiada tara ini selalu dinanti para murid meski guru belum menyiapkan diri menyambut kurikulum yang terus berganti.

Popular Posts